Spastisitas Paska Stroke

Spastisitas paska stroke merupakan selain menggangu secara fungsi, juga membutuhkan biaya. Spastisitas paska stroke dilakukan bukan hanya dengan menurunkan tonus yang meningkat , namun juga menangani gangguan fungional yang terjadi. Terapi intervensi yang dapat diberikan pada spastisitas paska stroke berupa strategi secara perifer maupun sentral, seperti teknik fisioterapi (stretching), modulasi secara farmakologis, hingga terapi bedah.

Spastisitas, memiliki definisi kelainan motorik yang ditandai dengan peningkatan reflek tonik, menimbulkan hipereksitabilitas reflex tendon, sebagai salah satu komponen UMN (Upper Motor Neuron)

Pada sebuah penelitian berbasis komunitas pasien stroke menyebutkan bahwa dalam 3-12 bulan paska stroke, angka kejadian spastisitas sekitar 17-43 persen. Dengan beberapa faktor terkait yang memperberat, misal lesi pada batang otak, stroke perdarahan, usia pasien yang muda, kelumpuhan dan rasa tebal saat serangan awal stroke.

Pengukuran klinis spastisitas yang umum digunakan adalah Ashworth Scale atau versi modifikasinya.
Pemeriksaan elektrofisiologis seperti H-refleks dan rasio H/M telah dipakai, namun berkorelasi lemah dengan derajat spastisitas.

Tindakan yang dapat dilakukan pada spastisitas paska stroke, jika hanya menurunkan spastisitas tanpa menangani komponen negatif  UMN lainnya, akan membatasi kembalinya fungsi secara keseluruhan. Sehingga diperlukan kombinasi beberapa teknik rehabilitasi untuk memperbaiki fungsional pasien. 

Beberapa penelitian rehabilitasi pada spastisitas masih berskala kecil, randomized dan studi kasus-kontrol. Sehingga masih dibutuhkan penelitian-penelitian lainnya seperti efektivitas stimulasi elektrik setelah injeksi (botulinum), latihan jalan, elektrik stimulasi menggunakan elektromiography dan lainnya. Studi penggunaan neuroprosthesis pada anggota gerak atas masih lebih jarang dibanding pada ekstremitas bawah.  

Penggunaan obat-obatan untuk menangani spastisitas masih tergantung pada derajat keparahan. Beberapa pasien stroke yang mengalami gangguan kognitif , mungkin akan semakin diperburuk dengan pemberian obat oral, atau adanya interaksi obat (seperti clonidine dan tizanidine yang bekerja secara sinergis, akan menimbulkan hipotensi, dantrolene yang digunakan dengan statin akan menimbulkan hepatotoksisitas). Obat oral antispastik (baklofen, tizanidine, dantrolene, dan benzodiazepine) dapat efektif menurunkan spastisitas paska stroke. Efek somnolen pada pemakaian obat tersebut juga dapat memberikan keuntungan pada pasien yang mengalami kesulitan tidur karena spasme otot.

Blokade saraf (menggunakan phenol dan alkohol) akan memberikan efek denaturasi protein pada akson dan membrane serabut saraf, menimulkan denervasi dan degenerasi spindle otot. Efek samping meliputi disestesia paska suntikan, pembengkakan, dan kelemahan. Penelitian randomi mengenai efikasi dan safety-nya masih kurang.

Pemberian botulinum neurotoksin didukung beberapa konsensus untuk penaganan spastik fokal dengan menggunakan BoNT tipe A dengan dosis dan pilihan otot yang individual. Efek samping mengantuk dan sedasi (banyak dialami pasien dengan pemberian obat oral), tidak terjadi pada pasien dengan injeksi botulinum. 

Injeksi intratekal baclofen dapat diberikan 3-6 bulan paska stroke pasien dengan spastisitas.Pada pasien dengan komplikasi pemendekan otot dan tendon, bisa dilakukan terapi pembedahan. Studi-studinya masih berupa laporan kasus dan kasus berseri. Metode pembedahan yang digunakan dapat berupa transfer tendon tibial dan Achilles untuk spastik kaki dengan equinovarus. Atau transfer tendon brachioradialis pada ekstensor digitalis komunis dan juga teknik-teknik pembedahan lain.

(baca: majalah stroke 2012)

Komentar

Postingan Populer